Sebut saja namanya Bu Yati, beliau seumuran ibuku. Beliau meminta ijin kepadaku untuk menimang putraku ketika kami bertemu. Aku tersenyum dan mempersilakan. Di masa 'pensiunnya' beliau masih aktif menjaga lapak jus buah dan minuman milik warga perumahan. Lapak itu ada di depan minimarket tempatku berbelanja. Beliau bercerita bahwa beliau mempunyai cucuberusia 15 bulan dan meninggal dunia karena terserang diare.
***
Mulanya ibu yati bercerita tentang menantunya yang 'bandel' karena kekeuh meminta mengikuti suaminya-(anak bu Yati) hijrah ke ibu kota sedangkan si cucu masih batita (kurang lebih 15 bulan). Pada saat musim banjir melanda ibukota akhirnya si cucu terkena diare dan harus dilarikan ke rumah sakit. Tidak terlambat memang penangananya, tetapi kondisi si cucu tidak kunjung membaik dari hari ke hari. Akhirnya bu yati meminta si menantu membawa cucunya pulang dan di rawat di rumah sakit daerah setempat saja mengingat agar dekat dengan keluarga supaya ada yang membantu bergantian menjaga si cucu di rumah sakit.
***
Namun setelah didiagnosa lebih lanjut memang terdapat beberapa gangguan komplikasi yang mengakibatkan tidak membaiknya kondisi si cucu. Ditambah lagi menantunya dianggap tak menjaga si cucu dengan baik, karena cucunya sempat jatuh dari ranjang rumah sakit ketika menantunya ke toilet, padahal disitu ada adik dari menantu yang menjaga si cucu. Mungkin jika aku jadi bu yati juga akan 'meradang'. Kok bisa ya?sudah di jaga dua orang masih kurang hati-hati. Begitu mungkin kurang lebih istilahnya.
***
Ekspresi yang bisa ku baca dari bu yati tentu saja kecewa. Tapi dahiku sedikit mengkerut ketika beliau bilang "kenapa sih musti ngeyel nyusul suaminya padahal anak masih kecil?" - dengan ekapresi yang 'entah'. Ok, memang di kampungku banyak mba-mba yang sudah menikah dan tetap stay di kampung sementara suaminya mencari kerja di kota, entah itu di jakarta atau kota besar lain. Aku anggap itu mungkin sudah menjadi pilihan mereka dan aku tak berani berkomentar macam-macam. Seperti juga yang sekarang ini ku jalani, merawat sendiri buah hati tanpa pengawasan orang tua karena memang lebih merasa nyaman berada di dekat suami. Semoga orang tuaku dan mertuaku menghargai pilihanku.
***
Semua pilihan memang mengandung konsekuensi. Tak mengapa asalkan kita bisa mempertanggungjawabkan pilihan kita baik kepada keluarga maupun di depan hadapan sang Pencipta. Tapi alangkah sedih rasanya jika kita sudah merasa bersusah-payah memberikan yang terbaik, namun orang-orang terdekat masih saja menganggap peran kita tak seberapa? Dalam hal ini justru orang tua kita sendiri atau mertua. Atau malah lebih dalam lagi dianggap tak becus merawat buah hati? Bohong rasanya jika aku ada di kondisi mba tadi dan tidak kecewa. Justru bisa jadi dialah orang yang paling kecewa. Masih ditambah-tambah harus 'ngadem-ngademin' mertua yang masih saja muntab padahal bukan dia penyebab kematian anaknya. Ah, apalah-apalah sudah pasti.
***
Pantas saja ada seorang teman yang jadi berperilaku seolah memproteksi diri dari mertua dan orangtuanya. Bahkan seolah malas untuk sekedar mendengar komentar 'miring' dari kedua pihak terdekat yang seharusnya paling kita dengarkan. Mungkin memang ada penyebab yang aku tidak ketahui. Bersyukur sekali mempunyai orangtua dan mertua yang mengerti, rejeki non materi yang luar biasa memang. Tapi tak semua bisa merasakan dan mendapatkannya bukan?
***
Ketika aku pamit pulang. Bu Yati bertanya berapa usia putraku, berat badannya dan apakah dia sudah bisa tengkurap. Ku jawab sekian-sekian dan ku jawab belum untuk masalah tengkurap. Beliau mengangguk takzim, lalu berujar "Tak apa mba, tahap tumbuh kembang anak memang berbeda-beda. Kitalah yang harus bersabar dan tak terlalu risau mendengar apa kata orang." Aku mengangguk setuju. Dan dalam hati berujar "Andai saja ibu bisa mengerti kondisi menantu ibu seperti ibu menghibur saya alangkah bahagia hatinya." Dan aku bergegas pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar