Rabu, 19 Juli 2017

Saya dan Ibu Mertua : Diskusi Tentang Anak

Kalau kata mba fitra wilis menulis baginya adalah salah satu cara menasihati diri, maka bagi saya menulis adalah salah satu cara untuk melakukan self healing. Topik kali kali rada apa ya, ah yasudahlah sebut saja topik laris manis. Yak, topik menantu perempuan dan ibu mertua adalah topik obrolan yang tak akan habis jika dibahas, melibatkan ego sesama perempuan, point of view dan kesamaan-kesamaan lain yang justru kadang menimbulkan percik-percik konflik yang rasanya mirip mojito *asem-asem seger dan bikin nagih* =D. Semoga ini bukan curhat yang bikin sebah ya, anggap saja ini adalah sharing. Dan saya akan senang sekali jika sharing ini bermanfaat.

Mbak santi helmy faishal adalah salah satu selebgram favorit saya karena beliau suka sekali berbagi mengenai ilmu pengasuhan anak. Beliau dan pasangan dikarunia buah hati di usia pernikahan mereka yang ke delapan tahun. Beliau dengan segala kelebihannya pun tak luput dari sorot mata mama mertua yang lebih senior dalam pengasuhan kala bertatap muka. Saya menyimpulkan demikian berdasarkan  sharing catatan seputar mudik dan kesibukan twins (delapan tahun menunggu Allah langsung kasih mereka dua putri cantik). Apalagi saya, dengan segala keterbatasan ilmu, waktu, dan kemampuan finansial tentu saja harus lebih tangguh dalam menjawab pertanyaan seputar anak ketika bertemu langsung dengan ibu mertua bukan? Dan ini contoh kasus yang baru-baru ini saya hadapi dan cara saya menyikapinya. Yuk, simak.

Kasus pertama : Saya mencoba memahami bahwa makan adalah salah satu kebutuhan dasar, pun demikian saya mengajarkan kepada baby saya. Saya membuat makan menjadi interaksi yang menyenangkan antara ibu dan anak. Saya berusaha menanamkan kepada baby saya bahwa nasi bukan satu-satunya makanan pokok. Sampai saat ini kalau saya sudah melihat dia memalingkan muka, saya menganggap bahwa dia sudah kenyang atau tak cocok dengan masakan yang saya buat meskipun baru beberapa suap. Saya pernah memaksa baby saya untuk menghabiskan makannya, walhasil beberapa hari dia justru tak mau membuka mulut. Jadi untuk saat ini saya tak mau lagi memaksanya membuka mulut untuk sekedar menghabiskan makanannya, toh masih ada saya yang jadi tempat pembuangan terakhir agar makanan tak mubadzir bukan? Terkesan santai dan slengekan ya? Memang. Fyi usia baby saya adalah 1tahun dengan berat badan 11.4kg.

Ibu : Duh-duh anakmu mbok dibikinkan apa gitu, minum susunya kok banter sekali, apa kamu makannya kurang banyak? Atau dia yang kurang gizi.

Saya : :) :) :) :) :):) :). Baca : senyum dan tarik nafas selalu, yang panjang sebelum menjawab. Demikian jawaban saya "in syaa Alloh nggak kurang gizi bu meskipun dzakir tidak makan makanan seperti teman-temannya(misal ikan salmon atau yang lain) yang memang bisa saya subtitusi dengan makanan lokal maka akan saya subtitusi jikalau harganya memang agak mahal. Semoga nutrisi dzakir tercukupi, begitu juga pertumbuhan dan kesehatannya bagus. Mohon doanya ya bu."

Kasus kedua : Saat itu kami sedang berjalan-jalan di suatu mall, dan tibalah saat jam makan siang dengan baby D pulas di gendongan saya.

Ibu : "Kamu kuat puasa kemarin? Ibu nggak pernah kuat puasa dan selalu nge-drop ketika menyusui sambil berpuasa."

Saya : "Alhamdulillah kuat puasa bu, hutang tujuh hari karena menstruasi. Alhamdulillah selama puasa saya dan dzakir juga bisa istirahat siang agak lama dengan tidur bersama. Aktivitas hanya saya balik saja menjadi malam hari."

Ibu : "Wah, tidur terus jangan-jangan dehidrasi."

Saya : :) :) :) :) *tinggal saya cek saja frekuensi pee sama poopnya, dan alhamdulillah baik-baik saja, hanya saja saya menambah porsi makan dzakir agar dia tetap merasa kenyang* - Itu adalah jawaban dalam hati saya mengingat posisi kami saat itu sedang berada di tempat makan. Dan saya tidak menyesal karena tidak menjawab pertanyaan beliau karena saya mengedepankan etika, menghindari menyebut BAB dan BAK di meja makan sekali pun dari bayi yang masih imut-imut tetep saja tabu bagi sebagian orang bukan?

Kasus ketiga : Kami memasuki sebuah counter baju ternama untuk baby, sebut saja namanya c*rt*r's dan *sk*sh. Saya sih sekedar sweeping, melihat price tag, dan stay calm aja karena sadar dompet. Dan pilihan saya tetap pada online shop! =D (olshop lover mana suaranya cakakakaka) Mbahti dzakir membelikan kaos untuk dzakir yang harganya cukup amazing menurut saya. Tapi Alhamdulillah dzakir jadi punya kaos branded walau kalau dipakai saya yakin takkan terlihat karena kaos itu terlalu biasa dengan harga segitu, lagi-lagi menurut saya ya. Begini kira-kira percakapan yang terjadi antara saya dan ibu.

Ibu : "Dulu sekali pun ibu nggak punya uang, ibu selalu membelikan baju bagus (baca : branded) untuk yoga dan dimas."

Saya : :) :) :)

Ibu : "Pas ulang tahun juga ibu dandanin macem-macem walau pun anaknya belum mudeng."

Saya : :) :) :)

Kenapa saya diam? Karena saat ini fokus saya bukan kepada brand baju buat anak saya. Saya fokus menabung agar tetap bisa berbelanja, makan layak 30hari, bayar kontrakan, bisa menabung, membeli mainan dan buku serta baju buat dzakir sekali pun tidak branded dan well karena saya belum bisa menghasilkan materi setiap bulannya. Sebetulnya ah, ada rasa yang tak bisa saya ungkapkan yang ah yasudahlah. Cukup ini saja yang saya bagikan, semoga bisa sedikit berbagi dan menjadi pembelajaran dalam bersikap.

Kasus keempat - the last : Pulang ke kampung halaman saya membawa serta mainan dzakir. Hal itu juga tak luput dari pengamatan ibu.

Ibu : "Mainan dzakir dikit ya, ayahnya dulu banyak sekali mainannya. Ada bebek-bebek karet yang biasa dibawa mandi (salah satu contoh yang beliau sebutkan). "

Saya "Oh, iya bu saya membelikan mainan yang saya rasa bisa menambah atau menstimulus motorik dzakir saja. Dan sekarang ini kalau beli di baby shop juga ada chart usia yang memperbolehkan dan tidak karena ada spare part kecil, atau bahan yang belum boleh digunakan untuk anak usia 3 tahun ke bawah. Dan setau saya bebek-bebekan termasuk yang bahannya kurang safe untuk anak seusia dzakir."

Ibu : "Oh dari jaman dulu juga ada, ibu kalau beli juga di baby shop. Beli lho yang bahan-bahan karet."

Saya : :) :) :)

Demikian ya sharing saya kali ini. Saya tahu saya bukan kompetitor bagi beliau. Saya juga sangat tahu saya adalah junior yang akan selalu dinilai. Dan semoga penilaian kepada saya suatu saat bisa membawa saya ke batas ambisi saya, seperti tagline dari sebuah bank kenamaan "Lampaui batas ambisimu". Tetap semangat menggalakkan diri, menjadi ibu baik tidak semudah mencari gorengan di tukang pecel. Menjadi ibu yang baik adalah menjadi pribadi yang baik, mengungkapkan sesuatu dengan cara baik, berkata baik, berprasangka baik, dan membagikan hal-hal baik. Stay humbble, keep struggle.

2 komentar:

  1. Iihh keren kak, berani jawab. Kalau aku tak senyumin ajaa, dan tak iya-kan aja pendapat beliau. ahahah, cemen sih anaknya.

    BalasHapus