Jumat, 09 Desember 2016

FLASH FICTION : PULANG


Tidakkah aku rindu dengan kampung halaman?
Bohong jika aku jawab tidak. Hanya saja aku berusaha menahannya dengan banyak alasan. Biar ku simpan rinduku agar rasa ini pecah dan tak ada lagi dihatiku. Biar aku mendefinisikan ini sendiri. Pulang...

***

Aku mengingat betul siapa yang waktu itu memegang kuat dan dengan gerakan memelintir tanganku berusaha memblokade langkahku ketika hendak mencapai pintu keluar kelas. Aku juga belum bisa dibilang terlalu pikun untuk mengingat siapa yang memukul pahaku dengan tuding penunjuk papan tulis. Merah, panjang, sakit dan tentu saja membekas. Bukan saja di pahaku yang berbalut rok merah lusuh ala anak kelas dua sekolah dasar, tapi juga hatiku yang ngilu akibatnya.
Entah kenapa aku selalu jadi sasaran olok-olok. Ketika aku membalas dengan hal serupa maka lecutan itulah yang ku terima. Mungkin lecutan di paha itu sudah hilang sempurna, tapi bekas di hatiku nyatanya masih sempurna. Dua teman masa kecil itu, aku mengingatnya dan aku akan selalu mengingatnya.

***

Ah, sebetulnya aku malu, teramat malu malah. Tapi ketahuilah ini jadi salah satu alasan kenapa aku enggan menjejakkan kakiku kembali ke tempat itu, tanah kelahiranku. Dia adalah anak dari kalangan terhormat. Ta semenjak kecillah yang membuat aku tak begitu respec, dia berusaha mengintipku ketika aku sedang mengadakan 'ritual' di kamar mandi. Menjijikkan bukan? Sangat. Apakah aku sebegitu seronok dan moleknya padahal baru duduk di kelas empat sekolah dasar? Yang aku ingat di foto kenangan kelulusan sekolah dasar aku hanyalah gadis kecil memiliki badan kurus, berdada rata dan berkulit kusam. Tak ada menariknya sama sekali. Lalu kenapa bisa memikat mata laki-laki untuk mengeksplorasi diriku lebih dalam?  Entah, aku atas dasar kenyamanan aku memilih untuk tidak mau tau.

***

Aku baru memiliki surat ijin mengemudi di usia 24 tahun, aku bisa dan 'dipaksa' mengendarai sepeda motor sejak aku duduk di kelas 5 sekolah dasar. Iya aku mengaku salah, tak taat aturan lalu lintas. Harapan ayah dan ibuku waktu itu adalah aku bisa menebus obat untuk ayahku ke dukun kampung terdekat setiap tiga hari sekali. Di lain cerita sore itu aku membawa amanah untuk membeli makanan pengganjal perut, bakso. Hari itu mungkin tanah kubur ayahku masih merah. Aku mengendarai sepeda motor layaknya siput bahkan hingga hari ini pun aku selalu menjadi bahan tertawaan karena sangat pelannya aku ketika mengendarai sepeda motor, apalagi kalau berpenumpang. Tepat di turunan keluar kampung, dekat mushola. Ada seorang anak memotong jalanku dengan berlari ke arah mushola di seberang jalan. Aku bisa apa ketika tubuh kecil itu akhirnya limbung dan mengenai aspal karena dia menabrak motorku yang terus melaju karena jalanan menurun? Darah keluar dari pelipisnya. Saksi mata kuat mengatakan ia yang menabrakku dengan tubuh kecilnya. Tapi dunia ini memang tak adil, Tuhanlah yang maha adil. Jika sepeda dengan sepeda motor seberapa pun salah sepeda jika cidera maka sudah barang tentu sepeda motorlah yang harus ganti rugi. Apalagi ini dengan bocah. Tangisku pecah dan aku tak berani keluar rumah. Tetangga ramai berdatangan menanyakan perihal apa yang menimpaku sehingga tangisku sedemikian hebat. Keluarga pihak 'tertabrak' tak terima dan di depan mukaku beliau mengataiku. "Anjing!!!Mata kamu buta ya???" kalian tak perlu tau siapa yang mengucapkannya. Beliau adalah nenek si korban. Seratus ribu dikeluarkan ibuku untuk biaya pengobatan 'korban'ku. Ah, tahun 2001 bukankan nominal itu cukup besar? Aku tak mempermasalahkan nominal itu untuk saat ini. Yang aku tau ibuku sangat percaya bahwa aku hanya kalah posisi. "Ingat Nak, kamu sudah tak memiliki ayah. Jangan kau lawan kekuasaan keluarga itu dengan amarah. Biar ibu tebus saja. Biar Allah yang menyembuhkan luka kita." Aku, ingat bu. Aku sangat ingat perlakuan tak mengenakkan itu kepada keluarga kita. Maafkan putri kecilmu yang ceroboh ini. Salam takzim dari saya ya Bu Haji, semoga suatu saat ketika saya ada di posisi anda saya takkan pernah melakukan hal yang sama.

***
Ayahku memiliki keluarga yang cukup besar dan tinggal dikompleks yang berdekatan. Sebut saja Bu R yang dinikahi Pak C. Pihak Bu R inilah saudara jauh ayahku. Singkat cerita, terjadilah konflik antara keduanya. Posisi ayahku sudah meninggal saat itu. Ketika pak C dan Bu R bertikai, biasa terjadi KDRT. Intinya malam itu Bu R meminta barang semalam menginap di rumahku. Aku hanya tinggal berdua bersama ibu saat itu. Dengan berat hati ibu meluluskan karena ibuku tau jika pak C tau hal ini posisiku dan ibu sudah barang tentu takkan aman. Karena memang pak C memiliki posisi 'disegani' di kampungku. Untung tak kami terima, alih-alih menjaga hubungan saudara dari keluarga ayahku, cacian itu lagi-lagi ku terima sebagai kompensasi. Iya, waktu itu ibuku sedang ke pasar. Seperti biasa aku duduk sambil menjaga warung dan membaca buku. Tak ada salam dan ketuk pintu. Tiba-tiba Pak C masuk ke rumahku dan bertanya dimana ibuku berada (dengan nada luar biasa kasar). Alhamdulillah akulah yang terkena dampak dari 'menyembunyikan' bu R di rumahku. Alhamdulillah aku saja yang mendengarnya. "Kamu dan ibumu sama-sama anjing. bla...bla...bla..." Mengerikan jika aku harus mengingatnya kembali. Mulai saat itu aku berjanji akan menjadi seekor 'macan' betina yang harus melindungi ibuku.

***
Ada banyak hal 'indah' lain berlatar kampung halamanku yang jika ku ingat justru membuatku semakin kuat. Ibu maaf kelak aku ingin pulang, dan kembali (pulang) kesini bukan ke kampung halaman kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar