Senin, 08 Februari 2016

OPINI : NOVEL VERSUS FILM ADAPTASI NOVEL

Assalamu'alaikum shalihat, yey kali ini saya sedang berusaha sekali menuntaskan untuk membaca novel saya yang masih bersegel (Ronggeng Dukuh Paruk - Ahmad Tohari dan Zahir - Paulo Coelho) hihihi...lumayan berat buat saya yang lebih mencintai teenlit daripada buku non fiksi yang sangat berbobot seperti ini :-D, but dua pekan ini saya berusaha keras sekali lho *percaya ya plis*. Ronggeng Dukuh Paruk sudah done, tinggal Zahir yang masih menanti untuk saya selesaikan. Kali ini saya belum berani untuk mereview kedua buku itu, sungguh :D, Semoga lain kali Allah mengilhami diri saya dengan secercah keberanian dan kecerdasan serta kebiasaan yang membuat saya terbiasa dengan kegiatan manis macam itu, Aamiin.

Saya ingin share tentang sebuah kutipan yang saya temukan pada buku Zahir karya penulis besar Paulo Coelho. Kutipan ini terdapat dalam paragraf dua halaman 160, begini bunyinya :

"... Sampai saat itu, setiap kali ada orang menyebut-nyebut kemungkinan memfilmkan buku-bukuku, jawabanku selalu, "Tidak, aku tidak tertarik." Aku percaya setiap pembaca menciptakan filmnya sendiri di dalam pikiran, memberi wajah pada tokoh-tokohnya, membuat setiap adegan, mendengar suara-suara, mencium baunya. Itu sebabnya, setiap kali seorang pembaca menonton film yang dibuat berdasarkan novel yang disukainya, dia kecewa dan berkata, "Bukunya jauh lebih bagus daripada filmnya."

Saya mengiyakan statement beliau dalam kutipan diatas. Beberapa kali saya pun mengalami hal itu (bahwa novelnya jauh lebih mengesankan daripada filmnya) Karena saya bukan pakar, saya hanya penikmat buku dan sesekali berusaha menikmati film maka ijinkan saya kali ini untuk menyampaikan opini pribadi saya mengenai beberapa alasan yang menjadikan tulisan lebih menarik daripada sebuah film. Simak ya :

1. Pemilihan Aktor/Aktris
Sering ya mendengar casting yang berkali-kali dilakukan oleh sutradara dan penulis novel, bahkan dilakukan di berbagai kota demi penggarapan sebuah film yang diadopsi dari sebuah novel. Tujuannya untuk apa?yap, tentu saja untuk mendapatkan kandidat terbaik guna memerankan peran (baik pemeran utama maupun figuran) dalam sebuah film yang diadopsi dari sebuah novel. Terkadang ada yang saya nilai terlalu cantik, kurang 'greng', dan entah kenapa saya menilai kurang pas dengan novelnya. Mungkin itu karena otak saya sudah terlanjur memiliki bayangan sendiri tentang bagaimana seharusnya sang aktris/aktor itu bermain. Seperti contohnya : pemeran Merry Riana dalam film Mimpi Sejuta Dollar yang saya rasa kurang luwes dalam memerankan tokoh tersebut.

2. Alur Cerita
Bisa dibayangkan ya novel yang kira-kira tebalnya 300-an halaman memiliki berapa ribu kata yang jelas saja menyita banyak energi sang penulis demi lahirnya sang 'mahakarya'. Pemilihan kata, kalimat, bahkan ungkapan sangatlah apik karena disampaikan dengan bahasa tulisan yang tertata sedemikian rupa sehingga sering saya sendiri merasa jatuh cinta kepada istilah atau ungkapan yang digunakan dalam sebuah novel. Nah bedanya dengan film adalah keterbatasan waktu atau durasi yang mengharuskan sang sutradara memotong adegan di sana sini sehingga sering detail kecil yang di tunggu-tunggu oleh penonton (yang sudah terlebih dahulu sudah membaca novelnya) justru tidak tersampaikan. Tentu saja detail tidak bisa disampaikan dalam sebuah film yang diadopsi dari sebuah novel, namun inti dari novel itu yang jelas akan menjadi 'pegangan' bagi sang sutradara. Seperti film Jendral Sudirman yang durasi aslinya adalah empat jam ditayangkan hanya dua jam saja. Nah berapa banyak adegan yang terpotong?bisa separuh detail ya ternyata.

3. Sponsor
Nah, ini mengacu pada tahun diterbitkannya novel dengan tahun dibuatnya sebuah film. Ini terjadi jika jarak antara penulisan novel dan pembuatan sebuah film terlalu jauh. Terkadang novel bersetting tahun sekian yang belum ada produk yang mensponsori pada saat film itu dibuat menyisipkan iklan sebuah produk pada tahun ketika film itu digarap. Contoh : Pada film Habibie Ainun yang disisipkan sebuah iklan produk pada saat jelas setting waktu di novel belum ada produk tersebut. Tetapi demi kepentingan banyak pihak, maka disisipkan lah sebuah iklan produk yang justru membuat kita merasa 'lucu' ketika melihatnya. Detail tidak penting bukan?tetapi tetap saja membuat kita jauh lebih menikmati novel ketimbang filmnya jika saja banyak iklan berseliweran nantinya.

4. Detail Penokohan
Saya menemukan ini pada film 99 Cahaya Di Langit Eropa. Ada seorang aktris yang berperan sebagai salah satu agen muslim di negara asing. Dalam sebuah scene aktris tersebut makan menggunakan tangan kiri (padahal dalam agama Islam kita dilarang menggunakan tangan kiri kecuali alasan syar'i) , entah disadari atau tidak adegan sekecil itu bisa mencederai sebuah film karena nilai ideologi yang seharusnya dipegang dengan baik tidak disampaikan dengan semestinya.Ya, sekali lagi bahwa menuangkan novel ke dalam sebuah film sepertinya lebih sulit daripada membuat film yang berdiri sendiri.

5. Pemilihan Setting Tempat
Mengacu pada film 30cm yang novelnya ditulis oleh Donny Dirgantara dan dalam syutingnya yang mungkin betul-betul dilakukan di gunung Bromo sih Asli ya?tetapi bagaimana jika gambaran yang diberikan dalam novel itu jauh lebih indah dari film yang diadopsi? atau bahkan setelah mengetahui melalui 'behind the scene'-nya itu adalah 'tipuan' kamera belaka?Ah, akan sangat mengecewakan bukan. Ada beberapa film yang membuat penonton kecewa karena itu lho, termasuk saya.

Tulisan ini murni pendapat saya pribadi. Semoga tidak menjadikan pihak mana pun merasa 'direndahkan' atau membuat saya tinggi hati. Sekian dari saya. Mohon maaf atas kesalahan saya pribadi yang awam ilmu dan minim pengetahuan mengenai film dan novel. Wassalamu'alaikum, keep writing stay blogging.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar